Saya di sini tidak
sedang mempromosikan agama Buddha, tidak pula berupaya melakukan kampanye hitam
terkait agama yang lain, ataupun berusaha menarik orang-orang untuk memeluk
agama Buddha.
Mengapa? Karena
agama adalah suatu relasi yang paling intim antara dirimu dengan dirimu yang
sesungguhnya, alam semesta, kekuatan luar biasa di alam semesta, atau mungkin
sebagian orang menyebut-Nya dengan Tuhan. Tidak ada yang bisa mendikte di mana
hatimu akan berada, karena itu ada di mana ia harusnya berada. Hanya kamu dan
dirimu yang tahu apa yang sesuai untukmu.
Saya hanya ingin berbagi
sedikit tentang pemikiran saya dan perenungan hati saya terkait spiritualitas
pribadi saya (ya, karena ini blog pribadi saya). Saya kini berusia 23 tahun,
usia yang cukup matang buat saya karena saya merasa telah menemukan karakter
dan jati diri saya, termasuk di dalamnya tentang keyakinan.
Sejak kecil saya
dibesarkan dalam keluarga sederhana, pekerja keras, berwatak keras, mandiri namun cukup liberal dan penuh kasih sayang. Kedua orang tua saya mendidik saya dengan dasar agama
Buddha, yakni lebih spesifiknya adalah Nichiren Shoshu Buddhism yang menyebut
Nammyohorengekyo. Dari saya bayi hingga remaja saya selalu diajak ke Wihara
untuk ikut beribadah (meskipun saya hanya kebanyakan bermain dan tidak mengerti
apa-apa). Ya, kedua orang tua saya cukup rajin dalam beribadah.
Karena sulit menemukan sekolah yang baik di kota kecil saya (Jambi), saya sedari TK disekolahkan di sekolah Katolik, yakni TK dan SD Xaverius 2 (karena juga dekat rumah), lalu lanjut ke SMP dan SMA Xaverius 1 (karena sekolah terbaik). Ketika SD dan awal SMP, sempat terbersit dan sangat besar keinginan saya untuk ikut ke gereja bersama-sama teman saya, sepertinya menyenangkan.
Karena sulit menemukan sekolah yang baik di kota kecil saya (Jambi), saya sedari TK disekolahkan di sekolah Katolik, yakni TK dan SD Xaverius 2 (karena juga dekat rumah), lalu lanjut ke SMP dan SMA Xaverius 1 (karena sekolah terbaik). Ketika SD dan awal SMP, sempat terbersit dan sangat besar keinginan saya untuk ikut ke gereja bersama-sama teman saya, sepertinya menyenangkan.
Jujur saja, saya ketika
kecil adalah anak yang pemalu dan sangat gengsian. Saya tidak merasa “KEREN”
ataupun “BANGGA” menjadi seorang Buddhist, yang mana sebenarnya saya juga belum
bisa dibilang Buddhist karena tidak mengerti apapun dan hanya ikut orang tua.
Citra agama Nasrani seperti Katolik atau Kristen (di lingkungan sosial saya)
bisa dikatakan cukup baik, di mana mereka yang memeluk agamanya dan pergi ke
gereja terlihat keren saat itu buat saya (well, mungkin hingga saat ini masih terlihat keren bagi
sebagian orang); sedangkan orang beragama Buddha yang pergi ke Wihara itu
terlihat kuno dan tahayul, apalagi agama Buddha Nichiren Shoshu bukanlah sekte
yang banyak dikenal banyak orang.
Saya kecil, ketika
berumur kurang lebih 12 tahun, pernah mengemukakan keinginan saya untuk pergi
ke gereja kepada orang tua saya. Saya mengatakan ingin ikut teman untuk sekolah
Minggu. Orang tua saya saat itu tidak mengizinkan, dan malah menyuruh saya
pergi ke Wihara dan ikut kegiatan generasi muda di sana. Terus terang saja saat
itu saya sempat kesal dan sedikit marah, namun apa daya saya tidak bisa melawan
kehendak orang tua saya. Saya akhirnya dengan terpaksa mengikuti ibadah serta diskusi
ceramah mingguan untuk generasi muda di Wihara saya. Dari sana, saya
pelan-pelan diajarkan tentang dasar-dasar agama Buddha dan segala macam tentang
Dharma (ajaran agama Buddha). Beruntungnya, saya adalah tipe orang yang suka
belajar; pada saat itu ajaran Buddha adalah hal yang cukup menarik bagi saya
sehingga saya terus bertanya dan belajar lebih dalam.
Seiring berjalannya
waktu, saya yang awalnya terpaksa ikut kelas Dharma karna disuruh orang tua,
menjadi semakin mencintai kelas tersebut. Saya dengan sendirinya selalu ingin
datang dan belajar lebih jauh tentang Buddhism. Bagi saya yang awam dan penuh
dengan pertanyaan konyol tentang kehidupan dan alam semesta, Buddha Dharma
memberikan semua jawaban. Tidak ada pertanyaan yang tidak dapat dijelaskan oleh
Buddha Dharma, dan semua jawaban itu tampak paling masuk akal dan selaras dengan
jalan pikiran kewajaran saya dibandingkan dengan semua versi cerita yang pernah
saya dengar di pelajaran agama sekolah ataupun cerita lainnya. Semakin hari,
semakin dalamlah pemahaman saya tentang agama Buddha.
Seiring dengan
proses pembelajaran saya dan pelaksaan ibadah atau meditasi yang rutin saya
jalankan, mulailah muncul segala macam kejadian dalam kehidupan saya yang
membuktikan kebenaran Buddha Dharma. Dengan demikian, secara otomatis keyakinan
saya pun pasti semakin bertambah tentang ajaran agama ini. Bagaikan anak kecil
polos yang tak tahu apapun tentang dunia, lalu diberi makanan bergizi setiap
hari dengan dikatakan bahwa makanan tersebut dapat membuatnya sehat dan tumbuh
besar; lalu ia tumbuh dewasa dan sehat, serta merta membuktikan kebenaran pernyataan
dan pelaksanaa dari proses memakan makanan bergizi tersebut, maka yakinlah ia
akan kebenarannya. Kurang lebih itulah yang saya alami.
Meskipun kurang
lebih dari SMP hingga SMA saya benar-benar mendalami ajaran Buddha Nichiren
Shoshu dan telah sangat yakin terhadap kebenarannya, hal tersebut tidak lalu
menutup mata saya dan membuat saya berhenti belajar. Ketika saya masuk kuliah
di UI, di semester pertama saya mendapat mata kuliah agama Buddha dan saya
tergabung dalam KMBUI (Keluarga Mahasiswa Buddhist Universitas Indonesia), di
mana pengetahuan saya terkait agama Buddha sekte lain dan secara keseluruhan semakin
bertambah dan pikiran saya semakin terbuka lebar.
Sudah saya katakan
bahwa saya adalah tipe orang pembelajar, dan juga saya suka belajar banyak hal
dari berbagai sudut pandang. Saya tidak mudah percaya terhadap suatu pernyataan
dari satu pihak sebelum saya membuktikannya sendiri. Sejak duduk di bangku
kuliah, saya semakin memperdalam banyak ajaran agama dan filosofis dari berbagai
sumber, terutama buku dan internet. Saya mempelajari tidak hanya agama Buddha
sekte lain, sejarah agama Buddha sejak awal, hingga seluruh ajaran agama lain
pun saya pelajari mulai dari Kristen, Katolik, Islam, Hindu, Konghucu, Judism,
bahkan paham-paham Atheism dan Liberalism. Saya juga memperdalam (karena saya
juga sangat tertarik) terhadap ilmu-ilmu filosofi, psikologi, astronomi,
metafisika, dan fisika kuantum.
Jangan sebut saya
maniak, tetapi tidak bisa dipungkiri saya memang tertarik ke arah sana, mungkin
kamu akan mengerti jika melihat rak buku saya, hehehe.
Setelah lama saya
berkutat dan semua ajaran tersebut, pikiran saya menjadi terbuka dan semakin
tidak dapat men-judge seseorang dan sesuatu, apapun itu, termasuk agama.
Saya dapat katakan
bahwa menurut pendapat saya pribadi, semua agama itu tujuan utamanya 1, yaitu
agar kita dapat hidup damai dan bahagia selaras dengan alam semesta (atau
beberapa orang menyebutnya ‘bersatu dengan Tuhan’). Setiap agama juga berusaha
menjawab segala pertanyaan mendasar kita tentang eksistensi di dunia ini.
Bagaimana cara penyampaiannya? Semua memiliki versi sendiri-sendiri. Mengapa
terjadi perbedaan? Karena kita sebagai manusia tidak dapat menjelaskan hakikat
alam semesta dengan kemampuan indrawi yang kita miliki saat ini; ibarat orang
yang belum pernah mengetahui bagaimana rasa durian secara pasti jika tidak
langsung mencicipinya. Sebut saja kamu sudah berusaha sekuat tenaga menjelaskan
dengan kosa kata yang kita punya seperti “Hmm...Durian itu rasanya manis,
sedikit pahit, ada aroma menusuk khas, hmmm... ya begitulah” Kita tidak akan
pernah bisa menjelaskan secara tepat tanpa menyuapi durian itu sendiri kepada
orang yang tidak tahu tersebut!! Sayangnya, keterbatasan indrawi kita saat ini
sebagai manusia di bumi, belum mampu mengerti seutuhnya apa itu “Tuhan”, apa
itu alam semesta, berapa luasnya, berapa kecilnya, apa itu waktu, bagaimana
keadaan dimensi lain, dan lain sebagainya.
Karena hal tersebut
di luar kemampuan dan kendali kita, maka agama memberikan esensi penting yang
dapat kita jalankan, yakni berusaha sebaik mungkin menjalani fase kehidupan
kita sebagai manusia saat ini, yakni dengan berbuat kebaikan.
Lagi, bagaimana
agama dapat memotivasi kita agar sadar dan dapat berbuat kebaikan sehingga
dapat hidup selaras berdampingan dalam kehidupan ini, akan saya berikan dalam
analogi sebagai berikut. Bagaikan seorang ibu yang ingin anaknya menghabiskan
makanannya agar anaknya dapat sehat, berusahalah sang ibu untuk membujuk
anaknya agar ingin makan. Cerita apa yang akan diberikan, dan bagaimana
penerimaan si anak terhadap upaya sang ibu, sangat tergantung dari bakat kecerdasan
dan penerimaan si anak.
Ada anak yang dengan
bakatnya dapat langsung mengerti dan menerima ketika dijelaskan secara apa
adanya oleh sang ibu bahwa jika ia makan makanannya maka nutrisi dari makanan
berupa karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral adalah dapat
memberikan energi dan menunjang sistem imunnya agar ia dapat sehat dan
beraktivitas; Ada pula anak yang tidak akan mengerti dan menurut jika
dijelaskan demikian sehingga tidak memakan makanannya. Namun demikian, sang ibu
karena sangat cinta terhadap anaknya, akan terus mencari cara agar anaknya
dapat makan. Ada ibu yang menceritakan bahwa jika ia tidak makan, nanti nasinya
akan menangis dan petani yang menanamnya juga akan menangis; lalu dengan belas
kasihan seperti itu maka si anak akhirnya makan juga. Ada pula anak yang masih
juga tidak peduli dan tetap tidak mau makan. Sang ibu pun tidak kehabisan akal,
ia lalu menggunakan teknik ancaman, bahwa jika si anak tidak makan, nanti
lidahnya akan dipotong. Atas dasar rasa takut seperti itu, akhirnya si anak
bandel ini makan juga.
Yang mau saya sampaikan di sini, pada akhirnya ketiga anak
tersebut mencapai tujuan yang sama, yaitu makan dan tumbuh sehat! Perihal
caranya bagaimana, semua tergantung dari penyampaian sang ibu dan kemampuan
penerimaan si anak.
Lalu mengapa saya memilih Buddhism?
Saat ini, menurut saya, ajaran agama Buddha adalah ajaran yang
paling mendekati hal yang sesungguhnya, di mana sang ibu mencoba menjelaskan
segala sesuatunya dari sudut pandang sebenarnya tanpa ditutup-tutupi agar
terlihat lebih menarik ataupun menimbulkan rasa takut. Buddhism juga tidak
pernah memberikan dogma kaku yang tidak boleh dipertanyakan atau dilawan; Buddha
mengatakan EHIPASSIKO, yakni datang dan buktikanlah! Buddha menganjurkan kita
agar tidak langsung percaya terhadap apapun yang kita dengar sebelum kita
membuktikan dan merasakan bahwa itu benar adanya. Buddhism juga tidak pernah
memberikan ajaran yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan, segala sesuatunya
selaras dengan sains dan mayoritas dapat diterima secara nalar karena merupakan
perihal kewajaran. Inti ajaran Buddha adalah mengajarkan cara untuk dapat sadar
penuh; dengan kesadaran penuh, kita dapat mengerti tentang hukum sebab-akibat
(karma), kita dapat mengerti harmoni alam semesta dan berperilaku yang sesuai
dengan sifat alam semesta, yaitu cinta kasih.
Saya saat ini sebenarnya cukup sedih melihat beberapa generasi
muda Buddhist yang belum mendalami dan memahami hakikat ajaran Buddha yang
sangat agung ini lalu memutuskan untuk pindah agama. Rasanya ingin berbagi
tentang pemahaman Buddhism yang sangat mencerahkan hati ini terhadap semua
orang! “Hey teman, kau telah memiliki obat yang paling manjur, ibu yang paling
jujur dan baik, sayang kau belum menyadarinya!”
Yah, namun saya juga percaya bahwa segala sesuatunya itu ada
sebab dan jodohnya, jadi biarkanlah alam semesta berjalan seperti apa adanya.
Dapat berjodoh dengan ajaran agama Buddha, apalagi memahaminya
di kehidupan saya saat ini merupakan suatu kebahagiaan terbesar. Saya sangat
berterima kasih terhadap kedua orang tua saya, serta semua pihak yang
senantiasa selalu mengajarkan dan membimbing saya.
Saya saat ini dapat dengan lantang menyatakan bahwa SAYA
ADALAH SEORANG BUDDHIST, dan saya BANGGA dengan itu.
Siapapun yang berusaha memaksa saya untuk melepas keyakinan
saya terhadap Buddhism dan membuat saya percaya terhadap keyakinannya, mohon
maaf sekali, saya bukannya tidak mau, tetapi saya TIDAK BISA; karena inilah
keyakinan tulus yang lahir dari dalam diri saya sendiri. Dan saya, tidak
mungkin dapat membohongi diri saya sendiri.
Semoga kita semua dapat mencapai pencerahan sempurna,
Nammyohorengekyo.
No comments:
Post a Comment